Diberdayakan oleh Blogger.

Utang, Kecemasan, dan Kebohongan yang Berulang-ulang

================

Utang, acapkali memang menjadi cara satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sangat mendesak.

Berutang, juga merupakan jalan yang kerap ditempuh orang untuk menutupi hasrat dan ambisi duniawi seseorang.

Berutang, memang pada dasarnya diperbolehkan. Tetapi, jika tidak pandai-pandai mengelola utang, maka bukan mustahil justru akan berubah bak momok sepanjang hayatnya.

Syekh Yahya bin Musa az-Zahrani, dalam risalahnya bertajuk Ad- Dain bain Al-Masyru’ wa Al-Mamnu’, mengatakan sekalipun utang diperbolehkan, tetapi sejatinya utang yang tidak dikelola secara disiplin, akan mendatangkan kecemasan yang luarbiasa. Ini pernah terjadi, konon pada zaman Rasulullah SAW.

Ketika itu, Rasul pernah bertemu dengan Abu Umamah tengah duduk sendirian dan termenung di masjid. Padahal, waktu itu bukan masa pelaksanaan shalat. Raut mukanya tampak kusut. Melihat gelagatnya itu, Rasul bertanya, ada apa gerangan? Abu Amamah menjawab, utang telah melilitnya.

Utang pula yang sering membuat malu bertemu dengan si pemberi utang. Adalah Qais bin Saad bin Ubadah. Ia terkenal dengan kebaikan dan kedermawannya. Suka menolong dan memberikan utangan kepada para tetangga dan sahabatnya. Ketika ia jatuh sakit, tak satupun yang bergegas menjenguknya.

Usut punya usut, mereka malu bertemu dengan si Qais lantaran belum menunaikan utang mereka. Mendengar hal itu, Qais terheran-heran, ia tidak pernah memikirkan hartanya. “Saya bebaskan utang kalian,”kata Qais. Detik itu juga, pintu rumahnya tak pernah tertutup dari para penjenguk.

Itulah, kata Syekh Yahya, contoh dari dampak negatif berutang. Ada beberapa efek negative berutang yakni yang pertama, perasaan cemas dan takut.

Hal ini pernah ditegaskan dalam hadis Uqbah bin Amir. Rasul mengingatkan jangan sampai diri seseorang kembali terkungkung rasa takut dalam kondisi yang aman. Apakah itu, tanya para sahabat. “(Jeratan) utang,”titah Rasul.

Berutang, lanjut Syekh Yahya, bisa mendorong pengutang berkata bohong. Ini dilakukan menyusul belum adanya kemampuan membayarnya ataupun karena alasan lain. Saat pembayaran utang jatuh tempo, ada saja dorongan untuk mangkir dari membayar atau minimal mengulur waktu. Itu semua, dilakukan dengan berbohong.

Sebuah hadis dari Aisyah menyebutkan, Rasul sering menyerukan dan meneladankan agar berdoa dari jeratan utang-piutang. Ini lantaran, acapkali orang yang berutang itu berbohong. “Jika ia berutang, ucapannya kerap dusta, dan janjia sering tak ditepati,”sabda Rasul.

Dan celakanya, ujar Syekh Yahya, utang bisa mengurangi pahala seseorang kelak di akhirat. Sebuah hadis menyebut, ada dua kategori orang yang berutang, yaitu pertama yang bersangkutan meninggal dunia dan berniat membayarnya. Allah SWT, akan menjadi penanggungnya kelak di akhirat.

Kedua, orang berutang lalu meninggal sementara ia memang tidak berniat menunaikannya. Jika demikian, maka tiap kebaikannya kelak diambil untuk menutupi utang-utangnya tersebut.

Sumber: republika.co.id
IKLAN
Tag : MUSLIM02
==================
Back To Top